Oleh : Bahrudin Yuliyanto
dakwatuna.com - Ikhwah, kalau Antum ga pengen bilang
dakwah di sekolah Antum lagi down, ya jangan ngomong doang, terjun dong
kalau perlu menenggelamkan diri kembali ditempat ini, tempat yang juga
menjadi asbab Antum bisa menjadi lebih baik seperti sekarang!!
Kalimat di atas mungkin terdengar terlalu keras, tapi itu adalah
realita. Saya tidak sedang mengatakan bahwa di semua tempat mengalami
hal yang serupa, yaitu kemerosotan kualitas maupun kuantitas dakwah
level sekolah, bahkan di beberapa tempat geliat dakwah sekolah itu
begitu menggelora, namun di beberapa tempat yang lain hal itu menjadi
semacam masalah yang kurang direspon sebagai qadhaya dakwah yang harus
diselesaikan dengan segera, karena ibarat tumor, kalau tidak segera
diangkat, maka akan cepat menjalar ke seluruh tubuh.
Sebenarnya, dakwah sekolah sedang mendapat angin segar dengan 2 hal,
yaitu munculnya pemberitaan Rohis di sebuah media nasional untuk
mengkounter serangan Rohis sebagai sarang teroris dengan eksistensi
kebaikan yang menolak tuduhan itu dengan elegan, serta isu lemahnya
institusi sekolah dengan berbagai kurikulum pendidikannya yang gagal
mengatasi kenakalan remaja yang terwujud dengan maraknya kembali tawuran
pelajar di mana-mana.
Maka sebagai aktivis dakwah harus melihat peluang besar tersebut
dengan sesegera mungkin menawarkan “produk dagangannya” ke berbagai
pihak agar momen tadi tidak hilang begitu saja. Hanya saja kadang kita
belum mengemas “produk” kita tersebut dengan semenarik mungkin, agar
“target pasar” kita mau membeli “produk” yang kita tawarkan tersebut,
begitu pula dengan mempersiapkan manajemen yang solid serta sistem yang
teratur, agar “produk” kita tersebut terjaga kesinambungannya dan bahkan
semakin hari semakin berkualitas.
Kembali ke potongan kalimat di awal, sayangnya di tengah
menggeliatnya kembali kebanyakan aktivis dakwah mengelola para pelajar
sebagai bagian dari anashir dakwah, masih saja ada yang (lebih) senang
menjadi penonton ketimbang turun sebagai pemain, masih saja ada yang
(tak) merasa telah menjadi pecundang bukan pemenang.
Ketika rekan2 dakwahnya sedang berusaha membangun kembali bangunan
dakwah dengan segenap kemampuan dan doa yang bisa mereka lakukan, para
penonton itu hanya menyibukkan diri dengan sorakan dan ejekan yang
justru menjadi benalu yang bisa melemahkan saudaranya yang lain.
Ada yang merasa sudah terlalu “tua” untuk terlibat dalam dakwah
sekolah, karena merasa sudah memiliki bentangan jarak usia sekarang
dengan masa kelulusannya “dulu” walaupun masih berstatus ‘single’.
Padahal tidak sedikit aktivis dakwah sekolah yang masih aktif adalah
mereka mereka yang sudah memiliki “gelar” Abi dan umi dari sekian anak,
yang tidak membuat mereka kehilangan ‘sense of belonging’ dengan dakwah
sekolah.
Atau, ada pula yang merasa sudah terlalu sibuk dengan aktivitas
duniawinya sehingga merasa pantas untuk keluar dari arena dakwah,
padahal di sekitarnya tidak sedikit yang disibukkan dengan berbagai
aktivitas duniawi juga aktivitas dakwah, namun masih memiliki porsi yang
tidak sedikit untuk berkecimpung dalam dakwah sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar