GEBYAR MILAD MAN 2 KOTA BEKASI

Agenda tahunan yang dilaksanakan untuk memeriahkan Milad MAN 2 KOTA BEKASI dan Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

LDKR (Latihan Dasar Kepemimpinan Rohis)

Kegiatan untuk melatih dan membangkitkan jiwa kepemimpinan bagi anggota Rohis MAN 2 Kota Bekasi.

Nasyid Asma Voice

Sebuah Tim Nasyid yang Bergenre Acapella.

Masa Orientasi Siswa Tahun 2012

Sebuah agenda yang rutin dilaksanakan untuk menjaring anggota-anggota baru.

Latihan Dasar Kepemimpinan Rohis 2014

Agenda rutin yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan bagi seluruh anggota Rohis.

Jumat, 31 Januari 2014

Kita Adalah Bersaudara



Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS. 49 ; 10)

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin, Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa’ala aalihi washahbihii ajmaiin, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" (QS. Al Hujurat (49) ayat 10 ).

Saudara-saudaraku, sahabat-sahabat sekalian Innamal mu’minuuna ikhwah, orang yang beriman itu adalah bersaudara bukan musuh jika terjadi sedikit perbedaan seperti perbedaan qunut, ushali, atau jumlah rakaat shalat tarawih, hal itu tidak harus menjadi musuh, karena musuh kita adalah kaum dzolimin.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS. Al Hujurat(49) ayat 11) ayat ini membahas mengenai larangan mengejek satu kaum terhadap kaum yang lain yang sama-sama punya iman walaupun misalnya berbeda partai akan tetapi sama-sama beriman kepada ALLAH SWT,tidak boleh saling mengejek. Begitu juga jika sama-sama kelompok majelis ta’lim, sesama ustadz saling mengejek? Naudzubillah. Lalu kenapa disini disorot wanita harus mampu mengendalikan ucapannya. Hal ini kemungkinan disebabkan pekerjaannya kurang banyak sehingga waktu yang ada digunakan untuk mengobrol. Jadi jelas sekali Al Quran melarang wanita atau akhwat jangan suka mengejek yang lain karena bisa jadi wanita yang kita ejek itu lebih mulia dihadapan ALLAH daripada yang mengejek, ini harus hati-hati karena ALLAH-lah Yang Melarang Mengolok-olok, selain itu tidak boleh kita menghina diri sendiri, karena orang yang mengejek diri sendiri dapat dikatakan kufur nikmat, jangan suka membanding-bandingkan dengan orang lain, karena semuanya ALLAH-lah Yang Menciptakan.

Jangan suka mengolok-olok atau dengan panggilan yang buruk misal kafir, fasik, munafik, monyet atau panggilan yang tidak baik yang berhubungan dengan Iman atau menghina orang tua orang lain karena dengan begitu berarti sama saja dengan menghina orang tua kita,tetapi panggilah dengan gelaran-gelaran yang baik.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka , sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat(49) ayat 12 )

Prasangka itu ada dua macam; husnudzon atau Suudzon, ada baik sangka dan ada buruk sangk, ketahuilah yang sebagian prasangka itu adalah dosa, yang tidak boleh itu adalah Suudzon itu, misalnya kita mengatakan kepada rekan kita tentang rekan kita yang lain “hey hati-hati si fulan suka buruk sangka kepada kita ? sebenarnya itu sudah termasuk berburuk sangka kepada orang lain. Oleh karena itu kita harus waspada.

Tapi husnudzon pun jatuhnya hanya kepada orang yang beriman, misalkan di bis ada yang membuka dompet kita , lalu kita berbaik sangka “ oh mungkin dia akan menghitungkan uang saya…”, itu tentu baik sangka yang konyol karena pasti orang itu adalah pasti copet. kepada orang yang beriman jangan sering melakukan “walaa tajassasu” suka mengorek-ngorek aib, suka mencari-cari kesalahan kecuali untuk tindakan keadilan pencegahan kemunkaran , saudaraku dengan menceritakan keburukan orang lain berarti kita telah ghibah, ghibah itu batasannya kalau ucapan yang diceritakan membuat orang sakit hati andaikata mendengarnya

"Hai manusia , sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling  mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al Hujurat(49) ayat 13)

Manusia diciptakan berbagai suku,berbagai bangsa semua itu ditujukan agar saling kenal-mengenal, kita jangan membenci orang Amerika karena orang Amerika tidak pesan untuk dilahirkan di sana, di Amerika yang sholeh ada yang bathil pun ada, persis sekali di kita yang sholehnya hanya sedikit, darimana kita tahu di Indonesia yang sholehnya sedikit?  karena kalau di kita yang orang yang sholehnya banyak tentu tidak negara kita bangkrut seperti ini.

Dalam kehidupan ini tidak boleh saling menghina karena perbedaan Negara, ada yang diciptakan di Amerika, Cina, jangan menghina negaranya ! yang buruk itu adalah keputusan-keputusan politiknya, ketidakadilannnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Pernikahan tidak boleh terhadang oleh perbedaan suku, karena semuanya sama-sama diciptakan Allah SWT. Ketika zaman Rasulullah Muhammad SAW, Bilal yang hitam legam tetap mulia disisisi Allah, lalu Salman Al Farisi dari Persia tetap saja mulia disisi Allah, sebenarnya perbedaan lintas Negara, suku, bangsa merupakan nilai Ukhuwah inna akromakum ‘inndalloohi attqookum yang mulia bukan warna, kulit, jabatan, gelar, pangkat,akan tetapi yang shleh dan taat pada ALLAH SWT itulah yang mulia. Wallahua’lam.

(and/mikha/aef)[manajemenqolbu.com]***

Rabu, 29 Januari 2014

Berantas Kejahatan dengan Kebaikan


Oleh : Nasril Zainun

Ketika Rasulullah SAW berhasil menaklukkan Mekah pada tahun 13 H, kaum kafir Quraisy dilanda rasa takut lantaran kejahatan mereka terhadap Rasulullah dan umat Islam di masa lampau. Mereka menduga akan menerima pembalasan jahat dari umat Islam.

Ternyata Rasulullah SAW mencanangkan hari itu sebagai hari pemberian maaf. Beliau mengumumkan tiga cara untuk aman bagi kaum Quraisy Mekah, satu di antaranya adalah berlindung di rumah Abu Sofyan. Abu Sofyan sebelum itu dikenal sebagai tokoh Quraisy yang sudah amat banyak berbuat jahat kepada Rasulullah. Tokoh jahat lainnya adalah Abu Jahal dan Abu Lahab yang saat itu sudah meninggal dunia.

Selanjutnya, Rasulullah SAW mengumpulkan semua tentara Islam dalam sebuah barisan dan memanggil Abu Sofyan. Rasulullah menyatakan bahwa mulai hari itu mengangkat Abu Sofyan sebagai pimpinan tentara Islam yang sedang berbaris di depannya. Rasa takut dan kecut di dada Abu Sofyan dan kaum kafir Quraisy berubah menjadi lega dan haru kendati masih bercampur rasa malu.

Rasulullah SAW dan umat Islam ternyata tidak membalas kejahatan kaum kafir Quraisy dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, Rasulullah memperlakukan mereka secara baik dan manusiawi. Memang, begitulah sebenarnya tuntunan Allah SWT. Firman-Nya: ''Tidaklah sama kejahatan dan kebaikan.

Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang baik, sehingga orang yang bermusuhan antara engkau dan dia seolah-olah teman yang setia.'' (As-Sajadah: 34).
Memang benar, perlakuan baik itu telah membuat Abu Sofyan segera menarik tangan Rasulullah SAW dan mengucapkan dua Kalimat Syahadat untuk memeluk Islam. Langkah Abu Sofyan diikuti orang-orang kafir lainnya.

Saat itulah turun surat An-Nashr: ''Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah (Islam) berbondong-bondong. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhan engkau dan minta ampunlah. Sesungguhnya Allah itu Maha Penerima tobat.''

Dari situ terlihat bahwa Islam sangat antikejahatan. Islam mengajarkan umatnya untuk memberantas kejahatan dengan kebaikan. Sehingga, kejahatan itu tidak berlanjut dan bahkan membuahkan hubungan baik antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan. Terbukti dengan balasan baik dari Rasulullah, Abu Sofyan memeluk Islam. Di belakang hari anak cucu Abu Sofyan menjadi pemimpin-pemimpin Islam.

Bila kejahatan diberantas dengan kejahatan, akan semakin memperbanyak kejahatan. Berlaku jahat untuk menolak kejahatan berarti praktik balas dendam atau mengambil peluang untuk berbuat jahat. Maka, antara pihak yang berbuat jahat dan pihak yang memberantas kejahatan, sama jeleknya.

Maka, sulit dipahami memberantas teroris dengan perbuatan teror. Kendati dengan dalih menumpas teroris, perbuatan teror tidak dapat dihalalkan. Teror dibalas teror berarti menggandakan kejahatan.

Selasa, 28 Januari 2014

Sepatu



Eep Saefulloh Fatah 
Publikasi : 11-05-2004

KotaSantri.com Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.

Ketika hujan mulai menderas, anak-anak Kang Soleh kulihat segera berlarian keluar, bertelanjang dada. Teriakan-teriakan kegembiraan mereka, gemuruh curahan air dari langit dan gelegar petir, bercengkrama sahut menyahut di tegalan depan. Ketika hujan mereda, mereka pulang dengan bibir membiru dan badan menggigil bergetar. Tapi, mata mereka memancarkan kegembiraan.

Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan.

Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu membersihkan gentong-gentong air kami yang kerontang selama kemarau, sambil membiarkan dirinya sendiri berlama-lama dicumbu hujan. Lekuk tubuhnya segera terbentuk oleh baju dasternya yang basah, membuatku tiba-tiba menginginkan malam segera datang.

Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, sembilan bulan sudah kurindukan bau ini.

Datangnya musim penghujan membikin kampung kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampung kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja.

Maka, kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar tapi selalu saja tiba. Di setiap kemarau, sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya berpaling pada sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh kemarau laknat itu segera.

***

Bagi guru sepertiku, musim penghujan sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu saja ia menghadiahiku kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres di seberang bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi- tinggi, tak membiarkan lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya.

Kedua tangangku pun dibuat sibuk. Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa menganggur, punya pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku, bak pemain sirkus, mesti menjaga keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke sawah berair berlumput-lumpur.

Kerepotanku tak usai di situ. Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit di belakang gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu.

Ketika sol sepatuku, sepatu terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat meratapinya. Tapi, ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang mewah semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah saja harganya 20 ribu!

Bersepatu pergi pulang mengajar di musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan yang tak perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri.

Tentu cerita bisa berbeda jika saja ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa kuhindari dengan sedikit memutar menyusuri jalan desa. Tapi, sejak kutahu bahwa sepeda bekas yang butut saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya.

Untungnya kepala sekolah tak mengharuskan guru honorer, guru bantu, sepertiku bersepatu. Akupun bisa mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas paling ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas darurat yang sempit itu.

Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu mata-mata yang haus dan berharap tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia setiap kali kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari pelajaran kelas. Dari hari ke hari. Dari pukul 7:15 pagi hingga Dzuhur lepas pergi dan Asar hampir menjemput.

Selalu saja terbit rasa senang melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali kukatakan, "Negara kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya bisa memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita."

Kadang-kadang anak-anak itu merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak berpuas diri sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. "Untuk apa melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi hanya akan membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan lain, lalu membikin kita hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orang tua seperti anak-anak kepala dusun itu?"

Maka akupun menjawabnya. "Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi membenci sawah. Kita bisa bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah kita. Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat."

"Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya sebentar?" Suara Pak Dudung, kepala sekolah, tiba-tiba menyeruput telingaku dari arah punggung.

"Ada undangan penting dari kabupaten," katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan sepatah katapun.

"O ya." Aku membuntutinya.

"Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua guru honorer se-kecamatan dikumpulkan bertemu Bupati minggu depan."

Aku segera membukanya. Beberapa kata segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15 November. Siang. Aula Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.

***

Hari Minggu ini sebenarnya sama saja seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda hanya lantaran inilah hari Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih sibuk. Hampir semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi Desa. Memimpikan panen padahal sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti datang karena ongkos bersawah selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi. Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup ala kadarnya selama kemarau yang belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali.

Siang ini aku harus ke kecamatan, berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi buta, ketika matahari masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor kecamatan, untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum itu.

"Kang. Jangan lupa mampir ke rumah Bi Mumun." Anah mengingatkanku ketika setengah badanku sudah tertelan pintu, hendak pergi.

"Ya."

Sepulang dari kecamatan Aku memang harus mampir ke pabrik tempe istri almarhum pamanku itu. Menjemput kulit kacang kedelai. Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam dan sedikit merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang lauk-pauk utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit kami. Cobek bohong. Penampilannya memang seperti cobek tapi sebetulnya bukan juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa jengkol atau ikan lele, atau apapun. Di sana hanya ada cabe merah yang panjang menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang-orang di kampung kami pun menyebutnya cobek bohong. Menu semacam itu adalah kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat.

Tapi hidup kami selalu saja darurat. Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan menjemputku. Semestinya aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian itu terganjal ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan amplop, dengan isi mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor Departemen. Kalau saja amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang sebanyak itu? Melihatnya saja aku tak pernah.

Untungnya, tenagaku masih terpakai di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu panen Kang Soleh dan tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari Raya Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa. Mengambil air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala dusun, tiap kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid menjelang lebaran.

Tenagaku tak selalu dihargai dengan uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi, atau makanan. Tapi semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan tetapku adalah honor sebagai guru wiyata bakti itu, guru honorer, guru bantu, sebesar 75 ribu setiap bulan.

Uang itu jauh dari cukup dan selalu habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke warung Ceu Nenden di pertigaan jalan desa itu. Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak pernah menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan keadaan kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu melayaniku dengan baik. Siang dan malam hari.

Anah lah yang justru mengajariku untuk selalu bersyukur atas apapun yang kami peroleh. Mengajari tetap bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami tak pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup saja lah kami tahu bahwa Tuhan tak pernah tidur.

Pertemuan di aula kecamatan hari ini sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua guru honorer juga pernah dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak seberuntung sekarang. Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten.

Selepas pertemuan itu, rasa syukurku bertambah-tambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang lebih beruntung dariku. Mereka bisa menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan teka- teki silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim dari desa di ujung utara itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku, tak punya gaji sama sekali. Ia hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali murid di kelasnya. Padahal, panen sering diganggu hama. Pak Komarudin, yang ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25 ribu ditambah uang BP3 sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada 12 orang. Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya.

Di pertemuan dua tahun lalu itu pula kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya mengingatkanku pada Kiai Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri dan pemimpin Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu betapa pemerintah memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami saja, katanya, kekurangan 33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak Asep, jika guru-guru honorer di seluruh Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan terlantar.

"Kami para guru honorer bukanlah orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami, pemerintah kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah yang semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami," begitulah antara lain yang dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk tangan. Wajah Pak Kakandep kulihat memerah delima.

Boleh jadi, suara Pak Asep sampai juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati datang dan akan mengurus "Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti." Seperti tertulis di undangan.

Benar saja. Kantor kecamatan seperti gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki orang-orang. Mereka benar-benar ingin melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu rupanya.

Setelah kulipat-lipat badan, menyelusup di tengah orang-orang yang berkerumun, bertukar keringat dengan mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertas undangan memberi tahu bahwa aku guru honorer yang memang berhak masuk aula.

"Nah. ini ada satu lagi." Seseorang yang berseragam coklat muda tiba- tiba setengah menghardikku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung tak mengerti.

"Mari. Saudara harus duduk di ruang terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak di kantor kabupaten. Yang masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak Bupati!"

Aku mulai mengerti. Semacam amarah beranak-pinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena tak bersepatu? Apa yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu? Menghormati Bupati?

Tapi mata tak bersahabat orang-orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan anak-pinak kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong pengeras suara mengintip dari jendeal, memelototi kami. Aku tak sendiri. Kutemukan juga beberapa wajah tak senang. Menahan marah.

Duh Anah.. Maafkan aku. Dari sini, aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku untuk sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang selalu tersenyum.

***

"Syukurlah Kang. Syukur."

Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak Bupati di pertemuan itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di kecamatan kami yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan guru-guru honorer. Dimulai dari yang penting.

Hampir setiap hari kampung kami diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin menuntut ketrampilan-ketrampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak berguna dan merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun belakang. Tali keduanya saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar yang mati bunuh diri.

***

Dua minggu sudah pertemuan dengan Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami bolong. Air pun jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang Soleh. Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat mereka duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat.

Satu sosok muncul dari belokan jalan desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi kepalanya - kurasa, dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin seperti mendorong-dorongnya untuk bergegas. Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi sesuatu di dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri. Tapi ke rumahku. Persis ke arahku.

Ternyata Mang Maman, penjaga SD Inpresku.

"Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan besar begini kok memaksakan diri datang ke sini."

"Saya diminta Pak Dudung mengantar kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak Bupati. Ada juga suratnya."

Kubiarkan Kang Maman berdiri di pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur.

Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya. Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari kertas, kata-kata berat itu berpindah ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu harkat guru honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa depan dunia pendidikan yang lebih baik.

Maka, kubuka kardus itu. Isinya: sepasang sepatu.

Columbus, Minggu, 21 Maret 2004
Keterangan:
  1. Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang biasanya standar, dengan pilihan warna- warna - biru, merah, hijau, coklat, hitam - yang kusam.
  2. SPG adalah Sekolah Pendidikan Guru. Sekolah untuk menghasilkan calon guru-guru sekolah dasar ini sekarang sudah dilikuidasi pemerintah.
  3. Guru Wiyata Bakti adalah sebutan resmi yang dipakai pemerintah untuk para guru honorer yang bukan pegawai negeri. Sebelum masa otonomi daerah, sebagian dari mereka memperoleh honor alakadarnya dari pemerintah pusat. Setelah otonomi daerah, mereka menjadi beban (yang diabaikan) dari pemerintah daerah.
  4. Pernyataan bahwa sekolah adalah tempat mendidik anak murid untuk tak menjadi "orang-orang yang tidak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tidak mendengarkan irama musik walaupun memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun memiliki hati, tidak pernah terharu dan tidak bersemangat," adalah kutipan pernyataan Mr. Kuroyanagi, pengajar Sekolah Tomoe dalam buku termashur Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela.

Senin, 27 Januari 2014

Mendidik Dengan Keteladanan


Oleh : Mulyana
Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya.
Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa menghargai.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, ia akan terbiasa melihat kebenaran.

Penggalan ungkapan Dorothy Low Nolte dalam Children Learn What They Live With di atas menggambarkan kepada kita bahwa anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan mengajarinya. Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat baik maka insya Allah dia akan terbiasa untuk selalu berbuat baik. Sebaliknya jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat kejahatan, kekerasan maka ia akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan dan kejahatan yang baru.

Anak-anak adalah makhluk yang paling senang meniru. Orang tuanya merupakan figur dan idolanya. Bila mereka melihat kebiasaan baik dari ayah ibunya, maka mereka pun akan dengan cepat mencontohnya. Orang tua yang berperilaku buruk akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak-anak pun paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut kita.
Oleh karena itu tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk memberikan lingkungan terbaik bagi pertumbuhan anak-anak kita. Salah satunya dengan memberikan keteladanan yang baik buat anak-anak kita. Karena kenangan terindah bagi anak-anak kita adalah kepribadian ayah-ibunya yang benar-benar mulia.

Rasulullah pun terkadang memberikan nasihat secara langsung kepada anak-anak. Rasulullah bersabda, "Hai anak, jagalah semua perintah Allah, niscaya Allah memeliharamu. Periharalah semua perintah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu. Apabila engkau memohon sesuatu, mohonlah hal itu kepada Allah, dan bila meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Dan ketahuilah, sekiranya seluruh masyarakat sepakat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka semua manfaat itu hanyalah Allah yang menentukannya, dan bila mereka akan berbuat jahat kepadamu, maka kejahatan itu tidak akan menimpamu kecuali yang telah ditetapkan Allah pula. Terangkat qalam dan keringlah pena." (HR At-Turmuzi)

Dalam konteks realitas sosial bangsa ini, jutaan anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang tidak wajar. Mereka tumbuh di bawah jembatan. Mereka hidup di setiap perempatan jalan. Mereka bergaul dalam lingkungan yang mengajarinya yang lemah akan tertindas dan yang kuat akan menguasai. Bahkan, sebagian mereka masih ada yang hidup dalam pengungsian.

Kondisi tersebut merupakan permasalahan sosial yang harus segera dibenahi. Oleh karena itu kesungguhan pemerintah, elit politik, atau LSM menjadi sebuah keharusan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Kita bisa membayangkan bagaimana jadinya bangsa ini jika generasi mendatang merupakan generasi yang tumbuh dari lingkungan yang kurang wajar.

Sabtu, 25 Januari 2014

Membangun Semangat Baru


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Cyber MQ - Maha Suci Allah, dzat yang memiliki segalanya. Maha Cermat dan Maha Sempurna, sehingga Ia sama sekali tidak membutuhkan apapun dari hamba-hambanya. Tidak ada kepentingan dan manfaat yang kita berikan, karena Allah secara total dan Maha Sempurna telah mencukupi diri-Nya sendiri. Saudara-saudaraku yang baik, kita tahu bahwa negeri kita ini sudah terlalu banyak dilanda bala bencana, tetapi Insya Allah akan datang suatu masa dimana negeri ini akan bangkit menjadi negeri yang terhormat. Syaratnya adalah :

Kita harus mempunyai semangat, kalau selama ini bangsa kita menjadi babak belur, itu semua bukan karena miskin alamnya, tapi karena miskin hatinya, apa contohnya? Kita ini pelit sekali untuk senyum kepada orang lain dan pelit sekali untuk memaafkan orang lain. Maka jikalau saudara-saudaraku setuju maka Tahun ini akan kita coba jadikan menjadi tahun akur bagi kita semua. Jangan ada lagi pertengkaran, karena buat apa? tidak menghasilkan sesuatu yang berguna, sungguh sedih rasanya melihat negara yang kaya seperti ini bisanya hanya berkelahi. Oleh karena itu kita butuh para pemimpin yang senang akur, kita butuh orang-orang pintar yang bisa akur dan kita butuh juga rakyat yang mau akur. Insya Allah.

Kita harus mempunyai percaya diri, tahun ini kita harus mau menjadi orang yang punya percaya diri. Lihatlah sebagian saudara kita di luar negeri yang malu mengaku dirinya sebagai orang Indonesia, kemudian ada juga sebagian orang yang malu mengaku dirinya sebagai muslim. Percayalah, kalau kita sudah kehilangan percaya diri maka siapa lagi yang mau menghargai diri sendiri? Oleh karena itu agar negara ini bisa makmur dan maju rahasianya adalah jangan pernah minder dan jangan pernah malu sebagai orang Indonesia karena kita adalah bangsa yang besar. Memang kita sekarang sedang diuji dengan keadaan terpuruk seperti saat ini, tetapi kalau kita mau bersatu, Insya Allah bangsa ini akan bangkit!

Kita harus memiliki ketaatan kepada Allah, ingat baik-baik, kita adalah negara yang amat besar dan alamnya sangat kaya. Orang lain untuk menanam pohon membutuhkan waktu 20 tahun tapi di negeri ini hanya membutuhkan waktu 10 tahun, karena sinar mataharinya melimpah ruah, hujan airnya melimpah ruah bahkan kadang-kadang menjadi banjir. Tetapi kenapa terjadi juga banyak bala bencana, longsor, musibah, narkotik, korupsi, segala musibah bertumpuk dinegeri kita ini, Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Saudaraku, mungkin penyebabnya adalah bisa jadi karena selama ini kita sangat sombong dan meremehkan Allah yang menguasai langit dan bumi. Kita merasa hebat, padahal siapa yang hebat? Tidak ada manusia yang hebat, bukankah manusia asalnya dari setetes mani ujungnya jadi bangkai kemana-mana bawa kotoran? Siapa yang hebat di Indonesia? Tidak ada yang hebat, yang hebat adalah kalau kita bisa menggiring masyarakat kita untuk taat pada Allah yang menguasai langit dan bumi. Semoga kita senantiasa memperbaiki diri, dan Insya Allah. Allah akan memberikan yang terbaik pula bagi hambanya.

Saudaraku, Rasulullah sendiri pernah bersabda : "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya". (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, akhlaqul karimah tak diragukan lagi merupakan tolak ukur yang paling utama, maka, kita pun dapat bercermin pada diri sendiri, adakah kita telah layak menjadi insan pilihan-Nya. Marilah bertafakur karena siapa tahu kita saat ini tengah menempuh suatu jalan yang dapat mengantarkan kita untuk dapat menggapai mahkota kemuliaan, atau sebaliknya, tengah menuruni lembah menuju kehinaan. Wallahu a'lam.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cyber MQ - Situs Resmi Manajemen Qolbu
© ManajemenQolbu.com »» 2005

Kamis, 23 Januari 2014

Berprestasi Dengan Motivasi


Salah satu kunci agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi kita untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.

Motivasi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu. Karena itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :

1. Prestasi itu sendiri,
2. Motivasi, dan
3. Harapan.

Prestasi bisa diraih karena adanya motivasi dan motivasi akan tumbuh jika ada harapan.

Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.

Ketika ditanya, misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"

Jawaban yang sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.

Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"

Jawaban yang sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju. Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?

Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.

Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.

Ia juga akan menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki. (Ems/MQ).*

Acara : Ceramah Ahad
Tema : Manajemen Diri
Jam Tayang : 11.00-12.00
 
sumber : republika online

Selasa, 21 Januari 2014

Bila Orang Lain Berbuat Salah

    

Oleh  : KH. Abdullah Gymnastiar


Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.

Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan
berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.

Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi,
bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!

Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas
pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.

Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan. Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang
umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.

Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan, "Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".

Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko".

Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya, "De', ini salah, harusnya begini".

Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.

Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun, "Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi".

Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.

Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa?

Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.

Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.

Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap
bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada
siapapun.

Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan. QS. ALI 'IMRAN :26 Katakanlah:"Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
 
sumber : manajemenqolbu.com

Senin, 20 Januari 2014

Jadilah Diri Anda Sendiri, Maka Anda Akan Bahagia


Sahabatku…
Sesungguhnya salah satu pintu masuk menuju kebahagiaan adalah, ketika kita menjadi diri kita sendiri. Keyakinan kita dengan potensi, bakat, kekuatan dan karakteristik yang ada pada diri kita, membuat kita merasakan keistimewaan dan keunikan yang kita miliki.

Janganlah ragu wahai sahabat, bila kita sudah menemukan bakat kita, sekalipun menurut orang lain adalah sesuatu yang “remeh”. Ketika kita menjadi diri kita sendiri, maka kita akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

Jika Anda berkumpul dengan orang-orang yang pintar pada satu bidang, yang mana bidang itu bukan keahlian Anda, jangan Anda katakan pada mereka bahwa keahlian yang mereka miliki juga Anda miliki. Keinginan Anda hidup dibawah bayang-bayang mereka justru akan melemahkan kedudukan Anda. Mengapa? Karena hal itu jelas akan menghilangkan kelebihan yang ada dalam diri Anda. Anda hanya berkutat pada kekurangan yang ada pada diri Anda. Dan jelas pada akhirnya akan melemahkan Anda, membuat Anda tidak bisa melangkah lebih jauh, dunia ini terasa sangat sempit. Jack Trout dalam bukunya yang cukup mencerahkan, Differentiatie or Die, berkata tentang hal ini: “Jika Anda mengabaikan keunikan Anda dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua orang, Anda langsung melemahkan apa yang membuat Anda ‘berbeda’.”

Jujurlah dan katakan pada mereka, “Maaf, ini bukan bidang saya. Saya bodoh pada masalah yang kini sedang kalian bicarakan. Saya tidak tahu, apakah keahlian saya dapat digunakan untuk membantu kalian atau tidak.” Ketika Anda memberitahukan kepada mereka bahwa keahlian Anda di bidang B bukan A, mereka akan lebih antusias kepada Anda. Mereka akan lebih percaya, salut dan bangga berteman dengan Anda. Percayalah kepadaku tentang hal ini. “Anda adalah sesuatu yang berbeda dengan lainnya. Tidak pernah ada sejarah yang mencatat orang seperti Anda sebelumnya dan tidak akan ada orang seperti Anda di dunia ini pada masa yang akan datang.” (Dr. Aidh Abdullah Al Qarni dalam bukunya, La Tahzan)

Wahai sahabatku…
Tidak ingin menjadi diri kita sendiri disebabkan oleh keinginan kita untuk mendapatkan pujian manusia. Kita ingin menjadi populer di mata masyarakat. Sebuah hasil penelitian psikologi menyebutkan: orang-orang yang ingin menjadi populer seringkali tidak jujur. “Dan mereka sendiri senang dipuji dengan amal yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.” (QS. 3: 188).

Membuat diri terkenal, itu bukan tujuan hidup kita. Kita hanya disuruh berbuat sebaik mungkin. Jika niat kita sudah salah, maka hasilnya pun akan tidak maksimal. Jika niat kita ingin terkenal tidak segera terwujud, kita hanya bisa larut dalam kesedihan karena tujuan hidup kita sudah terkandaskan. Sedangkan tujuan itu sendiri adalah final kehidupan. Tidak ada lagi kehidupan sesudah gagal mencapai titik final.

Berbeda dengan orang yang menyesuaikan tujuan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah; kegagalan dalam menghadapi sebuah episode kehidupan dunia ini bukan berarti kegagalan segala-galanya. “Jangan berambisi mencari popularitas, karena tabiat tersebut adalah indikasi dari kekeruhan jiwa, kegelisahan, dan keresahan.” (Dr. Aidh Al Qarni).

Seburuk apapun karya kita dan sekecil apa pun prestasi kita, hargailah itu! Semua itu kita peroleh dari hasil kerja keras kita, hasil kejeniusan otak kita, dan hasil kreativitas kita.

Sungguh, alangkah berbahagianya orang yang mencari ridha hanya kepada Allah semata. Dia tidak ingin menjadi populer di mata masyarakat. Jika masyarakat tidak menghargai karyanya, itu hal biasa baginya. Karena Allah sendiri telah berfirman: “Kebanyakan manusia tiada mengetahui.” Artinya hanya sedikit saja manusia yang dapat memahami kebenaran. Namun, bukan berarti bahwa dirinya lebih hebat dan lebih suci dari orang lain. Dia telah mendengar firman Allah yang berbunyi: “Janganlah kalian mengklaim diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. 53: 32).

Jika masyarakat menghargai karyanya, sekali-kali tidaklah ia menyombongkan diri. “Dan janganlah kalian (orang-orang beriman) berperilaku seperti orang-orang (kafir) yang keluar dari kampung halaman mereka dengan rasa angkuh dan bersikap riya kepada manusia.” (QS. 8: 47).

Sebuah kisah menyebutkan, seorang muslim yang fakir bernama Julaibib gugur dalam sebuah pertempuran melawan pasukan kafirin. Lantas Rasulullah SAW pun memeriksa orang-orang yang gugur dan para sahabat memberitahukan kepada beliau nama-nama mereka. Akan tetapi, mereka lupa kepada Julaibib hingga namanya tidak disebutkan, karena Julaibib bukan seorang yang terpandang dan bukan pula orang yang terkenal. Sebaliknya, Rasulullah ingat Julaibib dan tidak melupakannya; namanya masih tetap diingat oleh beliau di antara nama-nama lainnya yang disebut-sebut. Beliau sama sekali tidak lupa kepadanya, lalu beliau bersabda: “tetapi aku merasa kehilangan Julaibib!” Akhirnya, beliau menemukan jenazahnya dalam keadaan tertutup pasir, lalu beliau membersihkan pasir dari wajahnya seraya bersabda sambil meneteskan airmata: “Ternyata engkau telah membunuh tujuh orang musuh, kemudian engkau sendiri terbunuh. Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu; Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu; Engkau termasuk golonganku dan aku termasuk golonganmu.” Cukuplah bagi Julaibib dengan medali nabawi ini sebagai hadiah, kehormatan, dan anugerah.

Wahai sahabat…
Seperti Julaibib, tidak ingin menjadi orang terkenal dan terpandang. Seperti Julaibib, hidup menjadi dirinya sendiri. Seperti Julaibib, mengakhiri hidupnya dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan. Tidakkah kita ingin mendapatkan apa yang telah didapatkan Julaibib? (Imam Syamil)


kafemuslimah.com

Minggu, 19 Januari 2014

Ayo Mentoring !

 

dakwatuna.com - Kata Mentoring mungkin tak banyak yang kenal, juga tak banyak yang mau diajak kenalan dengan satu kata ini apalagi untuk mendalaminya lebih jauh.

Memang, kata ini tak terkenal. tak se-terkenal kata halaqah yang biasa diucapkan oleh para aktivis dakwah. Kebanyakan orang mungkin lebih banyak yang mengerti dan sangat paham jika disebutkan kata pengajian, kajian, ataupun ngaji.

Tapi sebenarnya, Mentoring atau Halaqah ini tidaklah jauh berbeda dengan mengaji, kajian, maupun pengajian. Kegiatan dalam mentoring sama-sama mengkaji tentang ilmu-ilmu Agama, ilmu-ilmu Allah SWT. Cuma dengan format dan metode yang berbeda saja.

Jika pengajian, ngaji, ataupun kajian identik dengan gebyar-buyar (setelah selesai materi yaudah selesai, tanpa adanya suatu nilai lebih bagi para pesertanya dan biasanya hanya selesai sampai di situ saja), maka di Mentoring tidaklah demikian.

Di Mentoring ini, selain kita mendapat materi yang sangat bermanfaat dan tak jauh beda dengan pengajian, kita juga akan mendapatkan banyak lagi ilmu tentang segala hal.

Mulai dari pengecekan amalan Yaumiyah (amalan kita sehari-hari: baik wajib maupun sunnah), belajar menyampaikan materi (biasanya dalam bentuk kultum), dimulai dengan tilawah, dibiasakan untuk infaq, dan biasa diakhiri dengan diskusi-diskusi seputar pengetahuan tentang agama maupun masalah-masalah dalam kehidupan yang mungkin tak ada kaitannya langsung dengan Agama.

Karena hanya dalam bentuk kelompok-kelompok kecil (biasanya terdiri dari 3-5 orang + 1 orang tentor/pembimbing), di kegiatan mentoring ini segala hal bisa kita utarakan, mulai dari permasalahan kita di rumah, kost-kostan/kontrakan, permasalahan pribadi kita, sampai keluhan-keluhan kita semuanya bisa dicurhatkan di sini.

Yang membuat mentoring ini menarik adalah, kita tidak hanya datang atau mengikuti sekali atau dua kali pertemuan saja tetapi rutin tiap pekan dengan tanpa ada batasan waktu kapan akan selesai.

Tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk mentoring sangat mengasyikkan dan tidak membosankan, karena selalu berpindah-pindah sesuai dengan kesepakatan.

Mulai dari memanfaatkan taman-taman kota, gazebo-gazebo kampus, sampai kafe-kafepun kita tetap enjoy mempelajari Ayat-ayat Allah SWT.

Bukankah kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu bertaqwa di manapun kita berada (tidak hanya di Masjid saja) sesuai dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam At-Taubah ayat 119:
”Wahai orang-orang yang beriman, Bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang yang benar.”

Juga ada sabda dari Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk menyampaikan walau hanya satu ayat.
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Manfaat yang bisa diperoleh dari mentoring juga banyak sekali, selain menambah wawasan pengetahuan kita tentang Islam, kita juga bisa bersilaturahim dengan saudara-saudara seperjuangan kita, dan yang tidak kalah penting adalah kita akan mempunyai banyak teman yang nantinya akan satu tujuan dengan kita yaitu menegakkan kalimat-kalimat Allah baik di kampus, di lingkungan rumah, masyarakat bahkan di seluruh dunia ini.
Tunggu Apalagi? AYO MENTORING! :)

Sabtu, 18 Januari 2014

Menjaga Aurat



Oleh : Fajar Kurnianto

Suatu ketika, Rasulullah Saw ditanya oleh seorang laki-laki, ''Wahai Rasulullah, apa yang seharusnya kami lakukan dan apa yang harus kami jauhi dari masalah aurat?''  Mendengar pertanyaan ini, Rasulullah Saw kemudian menjawab, ''Peliharalah auratmu kecuali kepada kepada istri-istrimu dan para budak yang ada dalam penguasaanmu.''  Lelaki itu bertanya lagi, ''Lalu bagaimanakah jika antara dua orang laki-laki?'' Rasulullah menjawab, ''Kalau engkau mampu untuk tidak melihatnya (melihat auratnya) maka lakukakanlah.''  Laki-laki itu bertanya lagi, ''Lalu kalau ia dalam keadaan sendiri?'' Untuk yang terakhir kalinya Rasulullah menjawab, ''Kalau demikian, maka Allah lebih berhak untuk dimalui (HR Tirmizi).

Dalam dialog itu, kita dapat mengambil beberapa hikmah yang coba disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan usaha atau upaya menjaga aurat agar jangan sampai aurat itu diumbar seenaknya di depan khalayak ramai dengan berbagai dalih apa pun jua.

Pertama, menjaga aurat manusia adalah suatu hal yang mesti, karena ia sangat berkaitan dengan aib atau cela manusia. Menurut asal katanya, aurat berarti cela atau aib ataupun kekurangan pada diri manusia yang seharusnya dijaga dan disembunyikan agar tidak sampai terlihat oleh orang lain yang dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal negatif dalam kehidupan sosialnya.

Karena, terkadang segala bentuk kejahatan itu bersumber dari aurat manusia yang diumbar tak terkendali. Kita banyak mendengar ataupun membaca di berbagai media massa kasus-kasus perkosaan, misalnya, berawal dari melihat aurat orang lain sehingga membangkitkan nafsu bejatnya.
Ataupun, segala bentuk tarian erotis yang mengundang atau mengarah pada hal-hal negatif, atau minimal menjadi fantasi yang suatu saat ingin dilampiaskan pada orang lain. Karenanya, segala bentuk pornografi dalam bentuk pengumbaran aurat itulah sesungguhnya menjadi salah satu biang kerok yang pada akhirnya akan membawa manusia pada berbagai tindak kejahatan.

Kedua, bahwasanya aurat itu hanya diperuntukkan atau diperbolehkan untuk diperlihatkan kepada para istri atau suaminya. Ini menunjukkan bahwasannya kerukunan rumah tangga akan terwujud jikalau di antara anggota keluarga mampu memelihara auratnya sebaik mungkin, jangan sampai aurat itu diperlihatkan pada keluarga lain, karena bisa jadi itu akan menimbulkan fitnah di antara mereka.

Ketiga, Rasulullah Saw sangat perhatian terhadap hal-hal yang dalam pandangan manusia dianggap remeh, namun itu sesungguhnya besar. Seperti masalah aurat, meskipun tampak remeh, namun ia memiliki akibat yang luar biasa besarnya kalau ditunjukkan secara bebas pada manusia lain, yang memiliki keimanan yang tidak sama.

Karenanya, sebagai tindakan antisipatif, Rasulullah Saw jauh-jauh hari sudah memperingatkan manusia untuk menjaga auratnya masing-masing. Betapa pentingnya menjaga aurat, sampai-sampai sekiranya seseorang itu dalam keadaan sendirian, tidak ada yang melihatnya ataupun memperhatikannya, maka sesungguhnya pada waktu itu Allah SWT melihatnya.

Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada seluruh umat manusia, untuk berperilaku dan berbuat dalam kehidupan sosialnya sebagai manusia yang bermoral, bukan manusia yang berperilaku hewan, yang tidak mengenal sama sekali apa itu adab, apa itu moral, yang dipikirkan hanya bagaimana untuk makan dan kejayaan walaupun itu ditempuh dengan cara-cara yang amoral.

Jumat, 17 Januari 2014

Tipu Daya Setan




Setan adalah musuh bebuyutan manusia. Nabi Adam, bapak manusia, harus keluar dari surga karena tergoda oleh bujuk rayuannya (Al-Baqarah: 36). Dikatakan, setan akan memukul dan meyerang manusia dari segala arah, sehingga manusia tak berdaya dan menjadi kufur kepada Allah. ''Kemudian saya (setan/iblis) akan mendatangi mereka (manusia) dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur/taat.'' (Al-A'raf: 17). 

Diingatkan agar umat Islam tidak mudah mengikuti langkah-langkah setan. ''Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.'' (Al-Baqarah: 168). 

Banyak cara yang dilakukan setan untuk menyesatkan manusia. Pertama, menjanjikan kemiskinan, sehingga manusia menjadi kikir (Al-Baqarah: 268). Kedua, menyuruh pada kejahatan, sehingga manusia lupa kebaikan. Ketiga, menciptakan permusuhan di antara sesama manusia, sehingga konflik dan perang terjadi di mana-mana (Al-Maaidah: 14). Keempat, meniupkan angan-angan kosong, sehingga manusia malas berusaha dan bekerja keras (An-Nisa': 20). 

Itulah berbagai tipu daya setan untuk mengganggu dan menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan. Dalam kitab Ihya' 'Ulum al-Din, Imam Ghazali menggambarkan hati orang mukmin ibarat sebuah benteng, sedangkan setan ibarat musuh yang akan merobohkan benteng itu. Maka untuk menjaga dan menyelamatkan benteng itu, kata Ghazali, orang mukmin harus menutup semua jalan masuk atau akses menuju benteng, sehingga setan tak dapat mendekat dan menguasainya. 

Namun, lanjut Ghazali, tak mungkin seseorang bisa menutup akses ke benteng itu bila tidak mengetahui jalan masuk atau pintu-pintunya. Ini berarti, tugas pertama yang harus dilakukan adalah mengenali pintu-pintunya, lalu menutupnya rapat-rapat sehingga musuh tidak bisa mendekat karena kehilangan akses. Di antara pintu-pintu yang harus dikenali itu, menurut Ghazali, adalah pintu amarah dan syahwat, pintu dengki dan iri hati, pintu makan minum secara berlebihan, pintu cinta dunia, pintu tergesa-gesa, dan pintu buruk sangka kepada sesama umat Islam. 

Dalam ilustrasi lain, Ghazali menggambarkan setan seperti anjing kelaparan yang selalu mendekat. Kalau hati kita kotor, dalam arti banyak ''santapan setan'' di dalamnya, maka ia akan terus menyerang. Ia tidak akan lari hanya dengan gertakan atau dengan membaca ta'awwuz atau hawqalah. Tapi, kalau hati kita bersih, maka dengan hanya menyebut asma Allah, ia sudah lari terbirit-birit. 

Jadi, tipu daya setan sesungguhnya tidak berpengaruh bagi orang takwa yang jiwa dan hatinya bersih. Firman Allah, ''Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuatannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.'' (Al-Nahl: 99). Wallahu a'lam!

Kamis, 16 Januari 2014

Agar Muslimah Tetap Cantik



Agar wajah selalu segar, berseri-seri dan cantik, cucilah minimal 5 kali sehari yaitu dengan air wudhu. Jangan langsung dikeringkan oleh handuk, biarkan menetes dan kering sendiri. Lalu ambillah sajadah, shalat, berdzikir, dan berdo'a.

Untuk menghilangkan stress, salah satu penyebab kerut di wajah, perbanyaklah 'olah raga'. Jika tidak ada waktu untuk pergi ke studio fitness, spot-gym, dan lain-lain. Cukup dengan memperbanyak sholat. Dengan sholat berarti kita menggerakan seluruh tubuh. Konsultasikan semua keluh kesah kita pada Zat Yang Maha Tahu -Allah SWT dengan dzikir dan do'a-.

Untuk pelembab, agar awet muda, gunakanlah senyum. Tidak hanya di bibir tapi di hati juga. Katakan pada diri sendiri anda adalah cantik dan tidak memerlukan segala macam operasi plastik. Tidak lupa membisikan 'kata kunci' "Allahuma kamma hassanta khalgii fahassin khulqii" (Ya Allah sebagaimana engkau telah memperindah kejadianku, maka perindah pula ahlaq ku). (HR Ahmad).

Untuk mendapatkan bibir cantik, bisikan kalimat-kalimat Allah, tidak berkata bohong, atau menyakiti hati orang lain, tidak dipakai menyombongkan diri atau takabur.

Agar tubuh langsing, singset dan mulus, lakukan diet yang teratur yaitu dengan berpuasa seminggu 2 kali, Senin dan Kamis. Jika kuat, lebih bagus lagi berpuasa seperti nabi Daud AS. Makanlah makanan halal, perbanyak sayuran, buah-buahan, air putih.

Untuk mengembangkan diri, sebarkan salam dan sapaan. Dengan demikian kita akan banyak dikenal dan disayangi. [boemi-islam.com](eko)

Ibadan Tanpa Ilmu



Oleh : KH Didin Hafidhuddin

Dalam perspektif ajaran Islam, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat berharga yang menentukan kualitas seseorang atau suatu bangsa. Suatu bangsa akan menjadi bangsa yang maju, modern, dan berperadaban, manakala masyarakatnya mencintai ilmu, antara lain, ditandai dengan kebiasaan bertanya dan menulis. 

Betapa pentingnya suatu pertanyaan untuk membuka ilmu pengetahuan, sampai-sampai Rasulullah SAW menyatakan, ''Ilmu itu ibarat harta yang terpendam, dan kunci untuk menggalinya adalah kesediaan untuk bertanya. Karena itu, bertanyalah kamu sekalian hal-hal yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya dalam proses tanya jawab akan diberikan pahala oleh Allah pada empat kelompok, yaitu: orang yang bertanya, orang yang menjawab, orang yang mendengarkan, dan orang yang mencintai mereka.'' (HR Abu Nu'aim dari Ali bin Abi Thalib). 

Orang yang berkesempatan mencari ilmu, tetapi tidak mau memanfaatkannya, sehingga ia tetap berada dalam kebodohannya, dianggap orang yang paling akan merugi kelak kemudian hari. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah SAW riwayat Ibn Assakir dari Anas bin Malik. Terlebih lagi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ibadah-ibadah (khusus) yang kita lakukan dalam rangka melaksanakan kewajiban kita pada Allah SWT, seperti shalat, puasa, dan ibadah haji. Karena ibadahnya orang yang bodoh (sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap apa yang dikerjakannya) bukan saja tidak hanya akan ditolak oleh Allah SWT, tetapi juga dianggap sebagai penyakit agama yang sangat berbahaya. 

Apalagi kesalahan yang dilakukannya secara sadar dan sengaja, dan disebarkan kepada orang lain. Misalnya, khutbah Jumat yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan mengatasnamakan persamaan gender dan emansipasi dan bacaan dalam shalat yang disertai terjemahannya dengan mengatasnamakan untuk kekhusyukan dan kesyahduan, mencerminkan kebodohan para pelakunya terhadap kegiatan ibadah khusus tersebut. Dalam ibadah-ibadah khusus itu terdapat suatu kaidah yang menyatakan: Ketahuilah olehmu segala yang diperintahkan. Dan jangan mengerjakan kecuali yang diperintahkan tersebut. Tugas kita dalam bidang ibadah adalah sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami menaati) dan ittiba (mengikuti apa yang dicontohkan Rasul). 

Dalam hal shalat misalnya, Rasulullah bersabda, ''Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.'' Jika seseorang atau sekelompok orang mengerjakan ibadah khusus seperti shalat dengan menambah-nambah sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya atau mengurangi sesuatu yang telah ditetapkan, maka dianggap melakukan perbuatan bid'ah yang menyesatkan, sebagaimana dinyatakan dalam HR Imam Bukhori dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan ibadahku ini, maka hukumnya tertolak.''Semoga kita semua terus-menerus mau belajar menambah ilmu pengetahuan, sehingga terhindar dari pekerjaan dan ibadah yang dianggap sia-sia dan ditolak oleh Allah SWT, dan membahayakan kehidupan kaum Muslimin secara luas.