Oleh : KH Didin Hafidhuddin
Dalam perspektif ajaran Islam, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat
berharga yang menentukan kualitas seseorang atau suatu bangsa. Suatu bangsa akan
menjadi bangsa yang maju, modern, dan berperadaban, manakala masyarakatnya
mencintai ilmu, antara lain, ditandai dengan kebiasaan bertanya dan menulis.
Betapa pentingnya suatu pertanyaan untuk membuka ilmu pengetahuan,
sampai-sampai Rasulullah SAW menyatakan, ''Ilmu itu ibarat harta yang terpendam,
dan kunci untuk menggalinya adalah kesediaan untuk bertanya. Karena itu,
bertanyalah kamu sekalian hal-hal yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya dalam
proses tanya jawab akan diberikan pahala oleh Allah pada empat kelompok, yaitu:
orang yang bertanya, orang yang menjawab, orang yang mendengarkan, dan orang
yang mencintai mereka.'' (HR Abu Nu'aim dari Ali bin Abi Thalib).
Orang
yang berkesempatan mencari ilmu, tetapi tidak mau memanfaatkannya, sehingga ia
tetap berada dalam kebodohannya, dianggap orang yang paling akan merugi kelak
kemudian hari. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasulullah SAW riwayat
Ibn Assakir dari Anas bin Malik. Terlebih lagi ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan ibadah-ibadah (khusus) yang kita lakukan dalam rangka melaksanakan
kewajiban kita pada Allah SWT, seperti shalat, puasa, dan ibadah haji. Karena
ibadahnya orang yang bodoh (sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap apa
yang dikerjakannya) bukan saja tidak hanya akan ditolak oleh Allah SWT, tetapi
juga dianggap sebagai penyakit agama yang sangat berbahaya.
Apalagi
kesalahan yang dilakukannya secara sadar dan sengaja, dan disebarkan kepada
orang lain. Misalnya, khutbah Jumat yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan
mengatasnamakan persamaan gender dan emansipasi dan bacaan dalam shalat yang
disertai terjemahannya dengan mengatasnamakan untuk kekhusyukan dan kesyahduan,
mencerminkan kebodohan para pelakunya terhadap kegiatan ibadah khusus tersebut.
Dalam ibadah-ibadah khusus itu terdapat suatu kaidah yang menyatakan: Ketahuilah
olehmu segala yang diperintahkan. Dan jangan mengerjakan kecuali yang
diperintahkan tersebut. Tugas kita dalam bidang ibadah adalah sami'na wa atho'na
(kami mendengar dan kami menaati) dan ittiba (mengikuti apa yang dicontohkan
Rasul).
Dalam hal shalat misalnya, Rasulullah bersabda, ''Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.'' Jika seseorang atau sekelompok
orang mengerjakan ibadah khusus seperti shalat dengan menambah-nambah sesuatu
yang baru yang tidak ada contohnya atau mengurangi sesuatu yang telah
ditetapkan, maka dianggap melakukan perbuatan bid'ah yang menyesatkan,
sebagaimana dinyatakan dalam HR Imam Bukhori dan Muslim dari Siti Aisyah,
Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan
ibadahku ini, maka hukumnya tertolak.''Semoga kita semua terus-menerus mau
belajar menambah ilmu pengetahuan, sehingga terhindar dari pekerjaan dan ibadah
yang dianggap sia-sia dan ditolak oleh Allah SWT, dan membahayakan kehidupan
kaum Muslimin secara luas.
0 komentar:
Posting Komentar