dakwatuna.com -
“Tidak ada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi manusia
ini, tidak ada ketinggian, keberkahan dan kesucian , dan tidak pula
keseimbangan dengan hukum-hukum semesta dan fitrah kehidupan , kecuali
dengan kembali kepada Allah”
Seberkas
kalimat itu tertulis oleh As-Syahid Sayyid Quthb dalam muqaddimah
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Namanya juga Sayyid Quthb, ia selalu
mengambil judul yang unik dan istimewa,Dalam Naungan Qur’an, nama yang indah untuk sebuah Tafsir. Iya kan?
Saat
itu, Ustad Pendiam yang Ahli Sastra tersebut benar-benar mencurahkan
perhatiannya, dari fokus Sastra Qur’an menjadi fokus Pemikiran dan
Sistem Islam. Pilihan yang tentu memuat konsekuensi , karena saat itu
pemikiran di Mesir benar-benar warna-warni, ada corak komunis, liberal,
corak-corak nasionalis hingga yang islamis.
Allah, semua umat manusia mengucapkan nama-Nya. Itu pasti. Allah-lah sumber Hukum segala-gala. Dia-lah Al-Hakim, sesuai
pelajaran Ushul Fiqh, Allah-lah muara segala kebijakan dan tata aturan
alam raya yang terus bergerak tanpa henti. Sungguh Allah adalah Maha
Inspirasi tiada tara.
Kutipan kalimat paling atas tadi adalah
bukti bahwa Sayyid Quthb paham betul kondisi ummat pasca keruntuhan
Khilafah Utsmani itu, setelah dicakar-cakar Inggris dalam Perjanjian
Sevres, Turki hanya segelintir wilayah Asia kecil, yang lainnya di
bagi-bagi ke tiran tak bertanggungjawab. Maka beliau menemukan obat
mujarab yang sudah membuat generasi sebelumnya menang gemilang ; kembali
pada Allah. Tak ada yang lain!
Memang, seiring berjalan waktu,
manusia lupa. Seiring Berjaya sebuah peradaban, manusia lalai.
Terpujilah generasi islam Yang Istimewa didikan Rasulullah yang memulai
peradaban, memerjuangkannya dengan peluh dan darah, hingga madinah yang
mungil itu menjelma kota sejuta cinta dan inspirasi. “Bangsa Arab yang
menggembala domba itu kini telah menjadi kekuatan besar!”, begitulah
statement Kisra terakhir Persia.
Lalu berlanjut
dinasti Abbasiyah, Seljuk, Muwahhidun, Mamluk, Ayyubiyah, sampai
Utsmani. Kesemuanya mengalami pasang surut supremasi. Begitu hebatnya
generasi islam ketika dalam pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi, beliau
mengumpulkan kaum muslimin dalam satu kesatuan, lalu bersama menggempur
kekuatan crusader di jantung Tiberias ,Accre, hingga Jerussalem.
Kuncinya
bukan muluk-muluk, Shalahudin hanya sering memotivasi tentaranya untuk
memperbanyak ibadah sunnah, sholat malam dan dzikir pagi-sore.
Maka,
ketika sebuah generasi kembali kepada Allah, terjadilah ledakan besar
dalam sejarah. Kemenangan datang silih berganti, ekonomi rakyat
tercukupi, industri dan teknologi pesat menjadi-jadi.
Tersebutlah
lagi kisah Al-Fatih, ketika beliau menginspeksi pasukannya, bukan
menanyakan tentang kelengkapan senjata atau ketajaman pedang, bukan. Ia
menanyakan sesuatu yang kata orang biasa tak ada hubungan dengan masalah
militer, “Siapa diantara kalian yang meninggalkan shalat malam?”
Luarbiasa.
Begini Salim A.Fillah mencuplik kegemilangan generasi emas itu,
Maka gemuruhlah Makkah dan Madinah oleh lantunan takbir dan talbiyah,
ketika sunyi membungkam Roma dan Konstatinopel dalam kekakuan dogma.
Maka hangatlah diskusi-diskusi di Basrah dan Kufah,
saat Genoa dan Venesia dihantui inkuisisi.
Maka bersinarlah perpustakaan Kairo,
ketika para dukun komat-kamit di kegelapan Lissabon.
Maka gemerlaplah Baghdad oleh lantunan ayat di semarak malam,
ketika Paris gulita sejak senja dalam takhayul dan mitos.
Maka gemericiklah air mancur Damaskus dalam kesucian thaharah,
ketika bangsawan di London menganggap mandi adalah aktivitas berbahaya.
Maka
berdengunglah ayat-ayat Allah menjelang buka puasa dengan sajian kurma,
yogurt, serta buah segar di balkon-balkon pualam Cordoba dan Granada,
ketika saat Kathedral di Wina dan Bern menutup makan malam dengan pudding darah babi.
Kawan
pernah mendengar sebuah kisah hebat dari Spanyol? Subhanallah, setelah
Tariq bin Ziyad membuka gerbang kemenangan di abad ke 8, Wilayah itu
berubah dari semenanjung kumuh nan sedih menjadi bunga yang mekar indah
diantara rumput ilalang eropa.
Namun kaum kafir tidak tinggal diam.
Terutuslah
mata-mata untuk mempelajari seluk beluk Spanyol yang telah berubah
mejadi super power di eropa itu. Ia menemukan seorang pemuda menangis di
bawah pohon, sesenggukan. Hal itu membuatnya ingin menanyakan sebab
mengapa pemuda itu menangis.
“Kenapa kau menangis?”
“Aku menangis karena kehilangan kesempatan untuk berjihad bersama tentara muslimin…hiks…hiks…”
Mata-mata
itu terperanjat, segera ia kembali ke markasnya menuju Istana Kaum
Kafir di Perancis. Dan apa kesimpulannya atas apa yang dia lihat di
Spanyol tadi?
“Tuan, saat ini kita tidak akan bisa mengalahkan kaum muslimin!”
Kaum
kafir Gusar, namun bukan syaithan kalau tidak bertipu muslihat.
Mulailah mereka menggunakan alternatif baru untuk menggerus semangat
juang pemuda di tanah Spanyol dengan segala upaya; mendistribusikan
rokok dan bir gratis, memperkenalkan alat musik hingga anak mudanya
lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang menyimak Al-Qur’an, dan
mengirim ulama palsu untuk meniupkan perpecahan diantara kaum muslimin
disana.
Tibalah beberapa tahun berikutnya, Mata-mata ini kembali
ke Tanah Spanyol dan menyelidiki hasil dari usaha mereka untuk
meruntuhkan semangat juang kaum muslimin. Maka, dilihatnya seorang
pemuda menangis di bawab pepohonan rindang, sesenggukan. Mata-Mata ini
menanyakan pada pemuda itu sebab ia menangis.
“Kenapa kau menangis?”
“Aku ditinggal kekasihku… hiks…hiks…”
Maka tertawalah ia dalam hati, kembali dengan dada terbusung, dan melaporkan pada Tuannya apa yang telah dia lihat sekarang.
“Tuan, sekaranglah saat yang tepat untuk merebut spanyol!”
Dan
terjadilah insiden berdarah pada tahun 1487 M, atau bertepatan dengan
892 H. Pasukan Kafir membantai puluhan ribu kaum muslimin dan Yahudi di
Spanyol. Terlalu tragis untuk dikisahkan.
Musuh Islam pun paham
siapa yang mereka hadapi, pemuda yang ia temui di awal penyelidikan
menangis karena ketinggalan seruan jihad, ia menangis karena tak bisa
ikut berjuang membela Agama Allah. Itu pertanda bahwa Generasi Islam
saat itu begitu dekat dan harmonis dengan Alah. Sedang peristiwa yang
kedua, seorang pemuda menangis karena ia ditinggal kekasihnya, ia
dikuasai oleh sakit hati yang rapuh dan lemah. Indikasi itu membuat
Musuh terbahak-bahak dan siap melancarkan serangannya.
Begitulah Sejarah bicara tentang Generasi yang silih berganti, mari mengambil kesimpulan;
Siapa yang kembali pada Allah, pasti Berjaya!
Siapa yang jauh dari Allah, pasti Jatuh Merana!
Maka sekali lagi, kutipan Sayyid Quthb mungkin bisa jadi referensi kita untuk menata diri,
“Tidak
ada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi manusia ini,
tidak ada ketinggian, keberkahan dan kesucian , dan tidak pula
keseimbangan dengan hukum-hukum semesta dan fitrah kehidupan , kecuali
dengan kembali kepada Allah”
Dan abadilah firman Allah yang
digaungkan keras pada Pejuang, yang dirindukan para Pencari Makna
kehidupan, beginilah Allah memberi jaminan,
“Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu
dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Allah dulu, Allah lagi, Allah Terus.
0 komentar:
Posting Komentar